Minggu, 17 Mei 2009

KONSEP PENDIDIKAN KELUARGA DALAM AL-QUR'AN

Pendahuluan

Masa depan kualitas kehidupan suatu generasi, terkait dan sangat dipengaruhi oleh suasana kehidupan keluarga masa kini. Mutu moral kehidupan yang telah melembaga dalam suatu rumah tangga akan sangat mempengaruhi moral anak turunannya. Bila kualitas moral suatu keluarga tinggi, akan tinggi pula peluang keberhasilan anak turunannya, demikian juga sebaliknya.

Nabi Ibrahim as sekeluarga adalah sosok manusia-manusia pekerja keras dan tidak kenal lelah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Kejujuran serta kecerdasan mereka menjadi tiang penyangga keberhasilan kerja tersebut. Persoalan kejujuran ini dalam dunia pendidikan di Indonesia kurang mendapat perhatian serius. Terdapat kekeliruan pandangan beberapa pihak berkenaan dengan kegagalan pendidikan yang ditimpakan pada "orientasi produk" dan "orientasi proses". Bila orientasi produk dianggapnya kurang peduli pada proses dan karena itu hasil pendidikan jadi tidak subtantif, banyak ijazah aspal (asli tapi palsu) serta perjual-belian gelar akademik. Sementara bila orientasi proses jadi satu kebiasaan atau karakter hidup yang jadi bekal keberhasilan usaha di masyarakat. Pikiran demikian menafikan pentingnya faktor kejujuran. Sebab manakala ada kejujuran, adalah suatu kemustahilan seseoang ingin mendapatkan hasil pendidikan tanpa mengikuti proses pendidikan, atau suatu lembaga pendidikan akan memperjualbelikan ijazah. Orientasi proses-pun manakala tidak dibarengi kejujuran, maka aktivitas prosesnya pun akan sekedar memenuhi fungsi formalitas, verbalistik dan tidak substantif. Persoalan kegagalan bukan terletak pada orientasi produk atau orientasi proses tapi lebih pada persoalan kejujuran.

Dalam hal Nabiyullah Ibrahim as. Di samping kejujuran, ketekunan, kesabaran, kerja keras dan kemudian dibarengi dengan kecerdasan merupakan sifat-sifat lain yang mendukung keberhasilan dalam keluarga. Kita dapat membayang kan kehebatan beliau saat beliau bersama istrinya Siti Sarah mengelana dari daerah Ur di Irak sampai ke Palestina (dahulu disebut Kan'aan) dan kemudian ke Mesir memburu padang-padang rerumputan yang subur untuk menggembala domba-domba. Pengembaraan yang luar biasa berat dan hebatnya. Panas terik padang pasir, kerepotan membawa keluarga serta peralatan hidup, mengurus domba yang jumlahnya ribuan, semuanya menunjukkan bahwa pengembaraan ini sungguh suatu perjalanan yang tidak ringan.

Namun demikian, saat beliau merasa gagal menggembala secara tentram di Mesir, karena istri cantiknya sempat diganggu Fir'aun Mesir (yang selalu menyimpan air suci secara sembarangan di tiap jembangan pinggir jalan), beliau kembali ke Palestina, untuk kemudian bolak-balik Palestina – Mekah melaksanakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Pada jaman fasilitas hidup publik belum tersedia dan jarak maupun waktu terasa panjang dan laman, pekerjaan dakwah demikian sungguh berat dan melelahkan. Namun itulah sosok Ibrahim as. Bila di daerah Ur-nya sendiri, beliau berani menentang raja dan seluruh rakyatnya secara sendirian, semata-mata bermodalkan keyakinan kebenaran yang beliau miliki, maka di daerah antara Palestika dan Mekah juga beliau berani sendirian berhadapan kejamnya alam, panas teriknya matahari, dinginnya cuaca malam serta jarak yang jauh, semata-mata untuk melaksanakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Hal demikian dikerjakan secara tekun dari tahun ke tahun tanpa bosan dan enggan. Ketekunan, kesabaran, kejujuran, kerja keras dan kemudian dibarengi dengan kecerdasan beliau itulah yang kemudian jadi budaya keluarga Ibrahim as dan keturunannya. Budaya keluarga demikian pada gilirannya mewariskan keturunan yang luar biasa tabah, tahan uji, tekun dan selalu sukses. Tercatat anak turunannya yang sama-sama memiliki sifat pekerja keras dan sukses sejak Nabi Ishak dan Nabi Ismail, sampai kepada Nabi Ya'kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Sulaiman serta nabi-nabi lainnya sampai pada Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. Semua Nabi tersebut dari suatu garis turunan Ibrahib as. Sebagai datang melalui jalur keluarga Nabi Ishak dan sebagian datang melalui jalur keluarga Nabi Ismail as.

Budaya keluarga berkembang dan diwariskan oleh satu ke lain generasi pada umumnya berjalan mengikuti alur kehidupan yang diperoleh generasi bersangkutan. Orang tua yang berbudaya luhur. Sebaliknya keluarga yang orang tuanya kurang berbudaya luhur, cenderung mewariskan budaya yang kurang beradab juga, walau di antara mereak telah mengenyam pendidikan formal yang tinggi. Proposisi ini menerangkan mengapa di lingkungan kita banyak orang yang sudah mengecap pendidikan tinggi, namun kurang memiliki rasa santun dan malah kurang beradab dalam pergaulan sehari-hari. Selain praktek dan budaya sopan santunnya kurang diajarkan di sekolah-sekolah, juga dan ini yang terutama karena budaya sopan dan beradabnya kurang dimiliki keluarga atau malah masyarakat. Kekecualian sangat mungkin terjadi, sebagaimana terdapat pada keluarga Nabi Nuh dan Nabi Luth as. Namun pemicunya tetap ada dalam keluarga yakni pada – kedua kasus tersebut – pihak ibu. Saat sekarang sebagian peran ibu dalam rumah tangga banyak digantikan oleh pihak lain seperti pembantu, televisi dan video yang mendidik generasi keluarga bersangkutan dengan cerita, tontonan dan nasihat "gemar makan, gemar mandi keramas, dan gemar jalan-jalan". Dengan demikian unsur yang mempengaruhi etika anak-anak di lingkungan rumah tangga jadi begitu banyak dan beragam. Ironinya kebanyakan yang ditonton ditiru diucap-ucapkan justru yang negatifnya. Padahal acara-acara teve tersebut banyak juga yang posisinya mendidik adab sopan santun dalam keluarga.

Maka diperlukan tekad kuat kaum pimpinan keluarga untuk membentuk bidaya santun dan beradab kepada generasi selanjutnya. Pembentukan budaya santun dalam keluarga merupakan kewajiban keluarga itu sendiri, di samping pembentukan kondisi eksternalnya merupakan kewajiban masyarakat dan malah pemerintah. Pemerintah memegang perananyang sangat strategis untuk membudayakan keluarga-keluarga warganya dengan budaya keberadaban melalui berbagai fasilitas, kewenangan serta kekuasaan yang dimilikinya.

Namun justru di sinilah ironinya Indonesia. Dari tiga mitra pendidikan yakni keluarga, sekolah dan masyarakat, selama ini yang menjadi objek studi dan fokus kebijakan pemerintah adalah pendidikan sekolah. Dana dari luar dan dalam negeri, desain pendidikan produk lembaga publik dari sejak MPR, DPR, sampai RW/RT di kampung-kampung malah termasuk pikiran ibu bapak dalam keluarga semuanya banyak tercurah pada pendidikan sekolah. Sementara pendidikan keluarga, baik dalam arti mikro yakni kegiatan pendidikan di rumah-rumah tanggal muslim, maupun dalam arti mikro yakni peraturan-peraturan pemerintah dengan segala instrumen sosialnya tentang hidup berkeluarga dan bermasyarakat, kurang di desain untuk terlaksananya pendidikan dalam keluarga dengan baik. Akibatnya adalah apa yang terjadi dalam pembentukan kepribadian warga masyarakat melalui pendidikan keluarga, lebih berjalan secara alamiah daripada rekayasa desain pendidikan yang benar dan terpadu. Pada sisi lain budaya sopan santun masyarakat bangsa Indonesia, semakin tergerus oleh budaya sekuler yang sedang dan sudah mengglobal dalam kehiduan saat ini.

Pendidikan dalam Keluarga

Materi pendidikan keluarga dalam al-Qur'an lebih banyak ditekankan pada pembentukan sifat dan karakter kepribadian. Namun hal ini tidak menafikan adanya hal-hal yang bersifat keterampilan praktis harian, walau ungkapannya bersifat umum.[1] Hal ini sejalan belaka dengan fungsi al-Qur'an sendiri yang lebih menekankan dirinya pada buku petunjuk tentang kehidupan bermoral.[2]

Bahan ajar utama dalam pendidikan keluarga adalah tauhidullah yakni keyakinan akan menghadirkan Tuhan dalam hatinya pada setiap kesempatan hidupnya, God consiousness, kesadaran bahwa Tuhan Maha Hadir (Ommipresent). Karena menyangkut keberadaan hati manusia maka pendidikan keimanan bukan sesuatu yang mudah. Namun demikian Nabi mengajarkan tentang representasi perilaku hati pada perilaku lahir yang teramati, serta memberikan penilaian berdasarkan perilaku yang lahir. Ungkapan "fahkum bidhawaahir" atau idza fasadat, fasada aljasadu kulluh, idza shalahat shalaha aljasadu kulluh, alaa wa hiya al qalbu[3] mengindikasikan bahwa perilaku lahir merupakan cerminan dari keberadaan hati seseorang.

Sesudah itu, berbuat baik pada semua manusia yang dimulai dengan berbuat baik pada orang tua. Penghormatan orang tua dimulai dengan mengenalkan adat kebiasaan keluarga dalam masyarakat beradab dalam bentuk perilaku-perilaku lahir, seperti sapaan, isyarat gerak dan kata, kapan pantasnya bertemu secara bebas dengan orang tua dan kapan diberlakukan batas-batas tertentu, baik ruang maupun waktu pertemuan dengan anak-anaknya.[4] Perpaduan metode pendidikan antara pengembangan perilaku batin melalui perilaku lahir demikian, dicontohkan Rasul melalui berbagai metode. Suruhan, anjuran, sapaan, reward and punishment, percontohan perilaku, bimbingan atau malah dialog semuanya merupakan metode pangajaran yang dilakukan Rasulullah saw.

Keluarga dalam al-Qur'an

Berkeluarga merupakan bagian dari fitrah manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tentram. Proses ketentramannya diawali dengan pemenuhan kebutuhan fisik yang kemudian secara berangsur meningkat kepada pemenuhan kebutuhan ruhani. Tahap pemenuhan kebutuhan fisik disebut mawaddah yakni cinta yang didasarkan tarikan nilai-nilai luhur kemanusiaan, seperti sopan santun atau beradab. Mawaddah ini dasarnya mahabbah, yakni rasa cinta yang didorong oleh hal-hal yang sifatnya fisik, seperti cantik dan ganteng. Kemudian tahap yang lebih tinggi yakni rahmah yaitu ketertarikan pada lawan jenis berdasarkan nilai-nilai luhur kepribadian. Karena bentuknya yang non fisik, maka rahmah bersifat lebih kuat, lebih abadi dan memberikan rasa kebahagiaan lebih tinggi.[5] Dalam tahapan rahmah ini, peluang untuk lebih mendekatkan diri pada Allah yakni taqarrub lebih terbuka, karena prasarananya telah tersedia yakni rasa cinta pada seseorang berdasarkan nilai-nilai kepribadian. Menurut Wahbah Zuhailiy[6] dengan adanya mahabbah, mawaddah, rahmah dan ra-fah, maka akan semakin kuatlah ikatan berkeluarga. Dalam posisi saling mencintai atas dasar nilai luhur fitrah manusia, suami istri dalam al-Qur'an, masing-masing difungsikan sebagai pakaian yang harus saling mencocoki, saling membantu, saling mendukung dan saling melindungi. Karena itu dari keduanya dituntut untuk jujur terhadap pasangannya sebagai representasi rasa jujur pada Tuhan dan pada dirinya sendiri.[7]

Al-Qur'an sangat rinci dalam mendeskripsikan hubungan antara anggota keluarga. Hal ini dimaksudkan supaya pondasi hidup masyarakat Islam terdiri atas keluarga-keluarga yang sehat yang nantinya akan melahirkan bangunan masyarakat sehat pula. Sebaliknya di manapun hampir dapat dipastikan bahwa masyarakat tidak toleran terhadap penyelewengan lelaki-perempuan dalam lingkungannya, khususnya manakala menyangkut para pemimpinnya. Di antara rinciannya dikemukakan dalam QS. An-Nisaa: 19-25 sebagai berikut.

Pertama, tidak boleh menjadikan istri sebagai barang warisan. Kedua, tidak boleh kasar apalagi manakala kekasaran tersebut disengaja dalam rangka merampas hak-hak istri, atau berbuat kasar supaya istri meminta cerai dari suaminya setelah sang suami puas memenuhi kebutuhan fisiknya, atau merampas kembali mas kawin yang telah diberikan, atau mendatangi istri yang telah cerai untuk kawin dengan laki-laki lain.[8]Ketiga, handaklah mempergauli dengan cara yang baik sesuai dengan ketentuan agama dan adat kebiasaan lingkungannya. Dalam hal penegakkan keadilan bagi perempuan ini khususnya masalah nafkah atau lebih jauh dalam hal suami berpoligami, menurut Fazlurrahman[9] ideal moralnya tetap harus diperjuangkan masyarakat, karena memang suatu yang tidak dapat dihindari.Keempat, manakala kebetulan ada kelemahan istri (lambat menarik kesimpulan, bodoh, kurang terampil memasak atau yang lainnya) sehingga menimbulkan kejengkelan, maka janganlah cepat-cepat mengambil kesimpulan negatif, sebab bisa jadi dalam kekurangannya tersebut, Allah menyembunyikan kebaikan yang banyak bagi kaum laki-laki.[10]Kelima, jangan mengambil kembali harta yang telah diberikan, manakala terjadi perceraian, sebab hal tersebut termasuk kekejaman dan dosa yang jelas.Keenam, jangan menganggap enteng terhadap tali perkawinan sebab perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang berat.Ketujuh, jangan mengawini perempuan yang telah diwakini ayah, atau perempuan (laki-laki secara mutatis mutandis, pola yang sama) yang memiliki pertalian darah seperti ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari pihak ibu dan bapak, kemenakan, ibu susuan, saudara perempuan sesusuan, mertua, anak tiri yang ibunya telah dipergauli, mantu serta mengawini dua bersaudara sekaligus. Termasuk dilarang mengawini perempuan bersuami.Kedelapan, perkawinan harus dilaksanakan secara terbuka, sah, tidak boleh dalam bentuk hubungan gelap dan rahasia. Kesembilan, boleh mengawini hamba sahaya dengan izin tuannya. Namun demikian tetap harus dilaksanakan secara terbuka, tidak boleh sembunyi-sembunyi apalagi sebagai "wanita simpanan". Kesepuluh, penyelewengan harus diberi sanksi. Bagi hamba sahaya sanksinya setelah sanksi bagi manusia merdeka.

Sebagai sumber keberagamaan, dengan berbagai aturan yang cukup rinci tersebut, al-Qur'an hendak menegaskan bahwa pada prinsipnya laki-laki dan perempuan memiliki hak kemanusiaan yang sama,[11] baik yang berkaitan dengan kekeluargaan,[12] maupun yang lainnya seperti persaksian, atau larangan pembunuhan.[13]

Seni Sebagai Metode

Menarik untuk disimak bahwa al-Qur'an sangat kaya sekali mengungkapkan keharusan iman melalui pendekatan seni permisalan yang sangat beragam. Terdapat 164 ayat al-Qur'an yang mengandung istilah misal dengan segala derivasinya. Pengertian menunjuk pada permisalan dengan menarasikan suatu deskripsi, sebagaimana tertera pada al-Baqarah: 17, atau menyamakan kedudukan seperti terdapat pada al-An'am: 38, atau menyamakan suatu proses kejadian seperti diungkapkan pada Ali Imran: 59, atau kelipatan suatu jumlah seperti tertera pada Al-An'am: 160.

Kalimah tauhid dimisalkan seperti pohon besar yang kokoh kuat, akarnya menghujam dalam, daunnya lebar menjulang tinggi, berbuas terus sepanjang masa sehingga orang dapat menikmatinya kapan dan dimana saja.[14] Orang mengimani kalimat tauhid akan terus memberikan manfaat pada setiap makhluk tanpa publisitas, tetap dzullah, yakni rendah hati dan lurus mematuhi perintah keimanan, seperti halnya lebah yang sarangnya di gunung dan tanpa sama sekali merusak milik manusia, tapi mereka memberi manfaat banyak bagi manusia.[15] Demikian juga penggambaran orang kafir yang pura-pura beriman dimisalkan seperti orang mengharapkan cahaya dengan cara membuat api unggun. Terang sementara untuk kemudian suasana terasa lebih gelap pekat saat api tersebut padam, karena itu mereka jadi kehilangan arah, buta, tuli dan bisu menghadapi suasana gelap pekat yang ditinggalkan terang jilatan api yang dinyalakan sesaat.[16]

Orang yang dipuji Allah piawai membuat tamsil secara konkrit adalah Luqman al-Hakim. Luqman yang arif bijaksana yang namanya diabadikan jadi nama surah al-Qur'an, adalah seorang yang hidup pada zaman kaum 'Ad. Dia adalah seorang hamba sahaya atau tukang kayu yang berumur panjang sehingga dijuluki mu'ammar (yang berumur panjang). Karena kearifannya dia ditawari kekuasaan duniawi berupa jabatan-jabatan publik, namun dia menolak.[17] Ibn Katsir menceritakan kisah dari Ibn Jarir bahwa Luqman sebagai seorang hamba sahaya Habsyi sempat disuruh majikannya menyembelih domba. Kemudian tuannya minta diberi dua daging terbaik dari domba tersebut. Luqman kemudian memberikan lidah dan hati domba. Kemudian si majikan meminta disembelihkan domba lagi dan meminta diberikan dua daging terjelek dari domba tersebut. Luqman memberikan lidah dan hati pula. Saat si majikan bertanya dengan kaget karena pemberian tersebut, Luqman menerangkan bahwa sesungguhnya tidak ada daging yang paling bagus kecuali daging tersebut bila sedang bagus, dan tidak ada dua daging terjelek bila sedang jelek kecuali keduanya juga.[18]

Keterangan ini menjelaskan bahwa pendidikan keimanan melalui seni pemisalan ternyata mendapat legitimasi tinggi dalam al-Qur'an. Berkesenian merupakan fitrah manusia. Indikator bahwa berkesenian merupakan kemampuan yang sifatnya fitrah (inherent dengan kejadian manusia) tampak pada kemampuan bayi menangis, merengek dan malah ketawa dengan nada-nada tertentu yang tidak pernah diajarkan sebelumnya. Sepertinya isyarat bagi pendidik bahwa pendidikan keimanan pada anak-anak harus banyak melalui seni atau metodologi yang berkesenian. Menurut hemat penulis bentuk-bentuk seni lainnya pun dihalalkan sepanjang tidak melanggar etik atau adab sopan santun keislaman. Dalam kerangka pikir seni ini, maka suruhan Lukman untuk shalat pada anak-anaknya dapat ditafsirkan ”adanya intervensi metedologis” baik dalam bentuk latihan, drilling, bermain peran, latihan pembiasaan, atau yang lainnya. Metode ini membuka peluang penghayatan nilai yang lebih baik lebih dalam dibanding penyampaian informasi keilmuan melalui ceramah atau kuliah. Tertanggung beban bagi para orang tua untuk memberi peran secara terus menerus pada anak-anaknya sehingga selain memancing imajinasi yang menyentuh hati, juga sekaligus jadi ajang penerapan learning by doing dalam hal-hal yang menyangkut penghayatan nilai keimanan pada Allah SWT.

Al-Qur'an dalam Pendidikan Keluarga

Bagi keluarga-keluarga muslim membentuk suasana keagamaan yang d ijiwai al-Qur'an merupakan bagian dari tanggung jawab keimanannya. al-Qur'an dalam dimensinya yang sangat fisik seperti mushaf, tulisan-tulisan al-Qur'an ditempat-tempat tertentu di rumah, bacaan-bacaan atau dengungan al-Qur'an pada waktu-waktu tertentu, merupakan hal atau keadaan yang sayogianya dikondisikan dalam rumah tangga. Barang tentu tidak boleh berhenti pada hal-hal yan gsifatnya fisik. Diperlukan tindak lanjut dalam bentuk tindakan atau penciptaan suasana yang lebih substantif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan, keindahan, kerapihan, keterpautan waktu, ketepatan janji orang tua pada anak-anaknya, keadilan pembiayaan keluarga, penghargaan terhadap pendapat yang berbeda, dan lain sebagainya.

Suatu simbol yang bagus selama ini telah dikembangkan oleh masyarakat Islam Indonesia. Banyak pengantin laki-laki yang memberikan mahar pada pengantin wanita yakni maskawin dalam bentuk perangkat alat shalat dan mushaf al-Qur'an. Walau hal ini tidak pernah dicontohkan nabi dan karena itu mskawin utamannya harus tetap dilaksanakan yakni dalam bentuk barang yang dianggap paling berharga, namun simbol demikian tidak perlu diperdebatkan. Wallahu a'lam bishsawab.

Kesimpulan

Berkeluarga merupakan bagian dari fitrah manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tentram. Proses ketentramannya diawali dengan pemenuhan kebutuhan fisik yang kemudian secara berangsur meningkat kepada pemenuhan kebutuhan ruhani. Tahap pemenuhan kebutuhan fisik disebut mawaddah yakni cinta yang didasarkan tarikan nilai-nilai luhur kemanusiaan, seperti sopan santun atau beradab. Mawaddah ini dasarnya mahabbah, yakni rasa cinta yang didorong oleh hal-hal yang sifatnya fisik, seperti cantik dan ganteng. Kemudian tahap yang lebih tinggi yakni rahmah yaitu ketertarikan pada lawan jenis berdasarkan nilai-nilai luhur kepribadian.

Bagi keluarga-keluarga muslim membentuk suasana keagamaan yang d ijiwai al-Qur'an merupakan bagian dari tanggung jawab keimanannya. al-Qur'an dalam dimensinya yang sangat fisik seperti mushaf, tulisan-tulisan al-Qur'an ditempat-tempat tertentu di rumah, bacaan-bacaan atau dengungan al-Qur'an pada waktu-waktu tertentu, merupakan hal atau keadaan yang sayogianya dikondisikan dalam rumah tangga. Barang tentu tidak boleh berhenti pada hal-hal yan gsifatnya fisik. Diperlukan tindak lanjut dalam bentuk tindakan atau penciptaan suasana yang lebih substantif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan, keindahan, kerapihan, keterpautan waktu, ketepatan janji orang tua pada anak-anaknya, keadilan pembiayaan keluarga, penghargaan terhadap pendapat yang berbeda, dan lain sebagainya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah Yusuf Ali, (1993) Qur'an Tejemahan dan Tafsirnya. Jakarta Firdaus
Fazlurrahman, (1983). Tema Pokok al-Qur'an, Bandung, Penerbit Pustaka

Imaduddin Abil Fida Ismail Ibn. Katsir al Qursyi al Damasyqiy, Tafsir al-Qur'an al Adhin, Singapura, Sulaiman Mar'iy, Tanpa Tahun, Jilid III hal. 443.

Nurcholis Madjid, (1997). Masyarakat Relegius. Jakarta: Paramadina.

Sadik Sama'an. (1980). Anak-anak yang Cemerlang (terj. Zakiah Daradjat.) Jakarta: Bulan Bintang.
Wahbah Zuhailiy. (1990). Al Tafsir al Munir fi al 'Aqidah wa al Syari'at wa al Manhaj. Beirut: Daar al Fikri al Ma'ashir

[1] QS. Al-Baqarah: 83, An-Nisaa: 36, Al-An'am: 151, Al-Isra': 23, dan Luqman: 15.

[2] Q.S. Al-Baqarah: 2 & 184, Al-Isra': 82.

[3] H.R. Bukhari.

[4] QS. An-Nisaa: 86 & 8-9, Al-Isra': 23 & 24-58

[5] Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 101-102.

[6] Wahbah Zuhailiy, Al-Tafsir al-Munir fi al-'Aqidah wa al-Syari'at wa al-Manhaj, Beirut: Daar al-Fikri al-Ma'ashir, 1991, h. 70.

[7] Nurcholish Madjid, Op.Cit., h. 103-104.

[8] Abdullah Yusuf Ali, Qur'an Terjemahan dan Tafsirnya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 528.

[9] Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur'an, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983, h. 70.

[10] Nurcholish Madjid, Op.Cit., h. 108.

[11] Q.S. Al-Ahzab: 35.

[12] Q.S. Al-Baqarah: 228.

[13] Q.S. At-Takwir: 8-9.

[14] QS. Ibrahim: 24-25.

[15] QS. An-Nahl: 68-69.

[16] QS. Al-Baqarah: 17-18.

[17] Abdullah Yusuf Ali, Op.Cit., 3593.

[18] Ibn Katsir, Tafsir Jilid III, h. 443

0 Comments:

Post a Comment